Saya memiliki
tabungan reksa dana di Prudential. Baru saja laporan tahunan 2018 muncul di
kotak pos. Perasaan saya agak mixed membaca rangkuman tahunan ini, dan setelah
merenungkannya, ada beberapa hal yang saya harap membantu pemahaman Anda di
reksa dana.
Reksa dana yang
saya miliki bernama Rupiah Equity Fund Plus. Saya salah satu nasabah awal
ketika fund ini diluncurkan bersamaan dengan paket asuransi. Tentu saja, kita
bisa membeli reksa dana ini tanpa perlu dicampur asuransi. Reksa dana ini di
bulan April berumur 5 tahun. Komponennya terdiri dari 95% saham. Biaya
pengelolaannya tinggi dibanding produk lainnya di 2%. Sepanjang tahun 2018, return
fund ini minus 7%. Itu faktanya, sekarang saya ingin share beberapa hal yang
muncul di pikiran saya.
Pertama-tama,
saya ingin menilai seberapa baik fund ini dikelola. Perlu pembanding untuk ini.
Berhubung hampir semua reksa dana yang komposisinya mayoritas saham bisa
dibandingkan dengan IHSG, pertanyaan ini bisa dengan mudah dijawab. Website
Bloomberg memberikan jasa ini gratis. Saya hanya perlu ketik nama reksa dana
yang saya miliki di Google. Bloomberg betul-betul memberikan kemudahan untuk
kita. Pertama, Bloomberg memberikan tampilan chart cumulative return. Ini
menjawab seberapa besar return yang kita dapat selama periode tertentu. Kedua,
Bloomberg sudah memasukkan biaya pengelolaan ke dalam perhitungan. Ketiga, kita
bisa langsung melakukan komparasi dengan indeks yang ada di list Bloomberg. Saya
pilih JCI (nama lain dari IHSG) dan melihat performa sepanjang masa hidup reksa
dana ini. Voila. Di bawah ini tampilan chart yang dengan mudah Anda dapat.
Dari April 2014
hingga 18 Februari 2019, cummulative return JCI sebesar 37,5% sedangkan reksa
dana Equity Plus 24,2%. Ini interpretasinya: Seorang yang membeli IHSG pada
April 2014 sebesar IDR 100 juta kemudian membiarkannya saja, akan melihat
uangnya bertumbuh menjadi IDR 137,5 juta pada tanggal 18 Februari 2019. Untuk
pemegang Equity Plus seperti saya, IDR 124,2 juta. Jelas dari chart juga, reksa
dana ini tidak mampu melebihi acuannya. Dimulai dari tahun 2017, performa reksa
dana ini dibawah IHSG. Sedangkan biaya kelolanya berada di tier tinggi dari
produk reksa dana berfokus saham lainnya!
Hal ini
mengumandangkan satu hal ke kita: Mengalahkan market (IHSG) itu sulit. Sudah
lebih dari 3 tahun fund manager sekelas Prudential tidak mampu melakukannya.
Kalau Anda scroll ke bawah di tampilan Bloomberg, Anda akan tahu seberapa besar
dana yang mereka kelola untuk reksa dana ini saja: IDR 6 T. Itu artinya, kalau
sepanjang tahun dana ini konstan, mereka mendapat IDR 120 M per tahun untuk
biaya pengelolaan yang di bawah benchmark seorang yang sekedar beli dan tutup
mata di IHSG. Tentu saja fund manager juga akan mendapat bonus kalau bisa
mengalahkan benchmark. Anyone wants to switch job? Lol. Tapi ini realitanya.
Inilah mengapa, siapapun dia, tidak boleh menjanjikan return kecuali untuk investasi
di obligasi yang dijamin negara.
Dari data di atas,
kita bisa menghitung kalau JCI memberikan return rata-rata sekitar 7% per tahun
selama 5 tahun terakhir, sedangkan reksa dana Equity Plus tidak sampai 5%. Ini
artinya, secara nilai absolut, hampir tidak ada bedanya dengan deposito.
Tentunya semua orang tahu kalau saham lebih berisiko daripada deposito. Karena
itu, ekspektasi return jangka panjang di saham akan lebih besar dari deposito.
Saya mengatakannya benar: ekspektasi ini baru memiliki arti dalam jangka
panjang.
Seberapa lama
jangka panjang ini? Saya pikir 5 tahun sudah bisa dibilang jangka panjang, tapi
mayoritas kalangan profesional setuju untuk mematok di 10 tahun sebagai jangka
panjang. Apa yang lebih jelas, memang tidak masuk akal hanya melihat perfroma
saham 1 tahun saja kemudian membandingkannya dengan deposito/obligasi. Kalau
tiap tahunnya saham memberikan return di atas obligasi, maka tidak ada risiko
di saham. Yang ada hanya return yang lebih superior. Inilah mengapa saya
menilai performa selama 5 tahun, baru membandingkannya dengan aset alternatif
yang tidak berisiko. Kalau 5 tahun rasanya kelamaan, minimal 3 tahun (seperti
yang di-set oleh Bloomberg juga). Untuk periode yang lebih singkat, kita harus
menggunakan pembanding yang memiliki tingkat risiko yang mirip. Dalam hal ini
saya memilih IHSG untuk alasan yang jelas bisa dilihat di chart atas. Tentu
saja, pembanding dengan tingkat risiko yang mirip akan relevan juga untuk penilaian
dalam jangka waktu panjang. Kalau kita setuju 5 tahun adalah jangka panjang,
dimana ekspektasi nilai rata-rata baru memiliki arti, maka reksa dana Rupiah
Equity Fund Plus adalah investasi yang inferior dibanding aset investasi alternatifnya.
Dia kalah dari IHSG dalam jangka pendek dan panjang, dan dia kalah juga dari
deposito dalam jangka panjang.
Saya ingin
berbicara sebentar mengenai komparasi performa dan expected return. Pertama,
komparasi performa. Pembaca YMS tahu kalau kami memakai return IHSG sebagai
pembanding. Hampir di semua bulan, return saham rekomendasi berada di atas
IHSG. Tapi ini bukanlah pembanding yang setaraf. Ingat, pembanding yang setaraf
memiliki tingkat risiko yang mirip. Bila kita memakai definisi risiko yang
dipakai seorang fund manager – tingkat fluktuasi – maka jelas fluktuasi saham
rekomendasi YMS tidak bisa dibandingkan dengan IHSG. Kebanyakan ini karena
saham rekomendasi YMS berada di saham small-cap, sedangkan IHSG terpengaruh
banyak oleh saham big-cap. Tapi menurut saya, perbandingan ini tetap berguna.
Setidaknya ini membantu Anda menilai apakah lebih baik trading mengikuti
rekomendasi atau menaruh saja secara berkala di reksa dana tanpa perlu market
timing.
Kedua, expected
return. Textbook mengajarkan kalau expected return saham Indonesia sekitar 15%
per tahun. Banyak yang setuju untuk mengukur expected return ini dengan
mengukur return IHSG selama 10 tahun terakhir, dan beberapa tidak memasukkan periode
krisis ke dalamnya seperti tahun 2008. Dasar dari pemikiran ini berada di
asumsi normalitas. Penganut asumsi ini percaya kalau ada yang namanya laju
pertumbuhan ekonomi normal. Berhubung return saham berkaitan dengan pertumbuhan
ekonomi, maka ada yang namanya return normal di saham. Pandangan return to
normal tidak mengatakan kalau tahun depan pertumbuhan ekonomi akan 7% atau
return saham 15%, atau mengatakan return per tahun paling sering adalah 15%
atau laju pertumbuhan ekonomi per tahun paling sering adalah 7%. Apa yang
mereka katakan adalah dalam jangka panjang, 10 tahun dan diatas, rata-rata pertumbuhan ekonomi dan return
saham adalah 7% dan 15%. Inilah asumsi yang mendasari reksa dana. Di dalam
pandangan ini, investor lebih baik beli indeks saham (atau beraneka saham) lalu
tutup mata dan bisa mengharapkan mendapat return rata-rata per tahun 15% bila
ia memegangnya 10 tahun lebih. Semakin saya meragukan ‘return to normal’ di
ekonomi, semakin saya meragukan angka ekspektasi ini. 5 tahun terakhir
rata-rata return IHSG sekitar 7% saja. Masih terlalu cepat untuk menilai apakah
‘normal’ sudah tidak berlaku lagi, tapi saya memilih untuk skeptis.
Comments
Post a Comment