Saya kurang tahu
mengenai PGAS, dan bukan maksud saya di tulisan ini untuk menilai apakah value
addition sekitar Rp 9 T dari manajemen masuk akal atau tidak. Tapi saya ingin
memberi sedikit perspektif mengenai konsep franchise value. Franchise value tercipta
karena Pertagas ada di tangan manajemen yang lebih baik. Tangan yang lebih
baik. Banyak analis yang memberi outlook optimis dari akuisisi dengan alasan
kalau akuisisi membuat sales buyer menjadi lebih besar karena pipeline PGAS
menjadi lebih panjang dengan ditambahnya pipeline milik Pertagas. Tapi pipeline
Pertagas sudah masuk ke dalam harga beli Rp 16,6 T yang dibayar oleh investor
PGAS. Jadi bagaimana bisa hanya mengoperasikan pipeline milik Pertagas, yang
mana PGAS bayar dengan premium, bisa memperkaya investor PGAS? Beda ceritanya
kalau ceritanya pipeline tersebut tidak perlu dioperasikan oleh karyawan
Pertagas lagi, cukup oleh karyawan PGAS tanpa penambahan jumlah. Jadi kalau
sebelumnya 1 karyawan mengoperasikan 1 pipeline, sekarang 1 karyawan
mengoperasikan 2 pipeline. Agak mustahil, tapi you get my point.
Miskonsepsi umum
lainnya mengenai sinergi adalah stabilisasi earning. Sinergi bukan menstabilkan
earning. Sebagai contoh, suatu perusahaan real estate membeli perusahaan minyak
dengan alasan kalau jualan minyak bisa menutupi earning bisnis real estate ketika
demand real estate sedang lesu. Jadi net income tidak banyak berubah. Tapi
bagaimana mungkin akuisisi dengan alasan itu bisa menambah kekayaan shareholder
perusahaan real estate tadi? Akuisisi itu mahal. Kalau tangan manajemen real
estate tidak bisa membuat perusahaan minyak lebih bagus relatif ketika
perusahaan minyak itu berjalan sendiri, bagaimana bisa memberi kompensasi
shareholder yang uangnya terpakai untuk membeli perusahaan minyak? Kalau hanya
untuk sekedar menambal earning ketika ekonomi lagi lesu, lebih baik shareholder
langsung saja membeli saham perusahaan minyak. Setidaknya mereka tidak terkena
biaya premium.
Sayangnya,
pemikiran-pemikiran tadi sering kita temui saat suatu perusahaan melakukan
akuisisi. Saya juga sebelumnya terkena ilusi ini. Sumber masalah dari munculnya
justifikasi akuisisi yang tidak masuk akal ini adalah net income. Hingga saat
ini, banyak yang mengaitkan value dengan net income. Dalam pemikiran mereka,
memperbesar net income sama dengan memperbesar value perusahaan. Kalau dengan
logika seperti ini, tidak heran kalau setiap akuisisi disambut dengan gembira.
Seringkali argumen utama untuk kontra terhadap akuisisi berhubungan dengan
utang. Kalau akuisisi dibiayai dengan utang, dan perusahaan sedang punya banyak
utang, maka baru akuisisi disambut dengan negatif. Tapi manajemen dengan akal
sehat mana yang ingin melakukan akuisisi besar dengan meminjam utang besar-besaran
ketika perjanjian dengan bank (debt covenant) tinggal selangkah lagi dilanggar?
Akuisisi
menciptakan nilai ketika suatu perusahaan berada di tangan pemilik yang lebih
baik (better owner) dan tidak overpay. Menurut saya konsep ini sangat intuitif
dan lebih masuk akal daripada memikirkan efek akuisisi terhadap net income. Net
income mudah dihitung, tapi menghantar ke logika yang buruk. Simple to measure,
but leads to bad logic.
Comments
Post a Comment