Seringkali kita
mengikuti berita perusahaan tertentu karena kita yakin harga saham perusahaan
digerakan oleh berita. Menurut saya, kepercayaan itu malah mengantar investor
ke habit yang justru membahayakan keberlangsungan portfolionya. Ada dua alasan
praktis mengapa demikian. Pertama: kepercayaan seperti itu cenderung membuat
investor ingin memiliki informasi insider. Itu ilegal dan malah bisa membuat
Anda menjadi skeptis kumat ketika tidak bisa mendapat informasi insider.
Sebaliknya, saya percaya investor bisa
menggunakan informasi publik dan bahkan bisa ketinggalan berita tapi bisa tetap
meraih keuntungan selama ia memiliki perspektif yang baik mengenai kondisi perusahaan dalam menciptakan nilai
lebih untuk investor DAN ekspektasi yang terkandung di dalam harga saham.
Kedua, alasan yang lebih praktis. Kalau berbicara jujur, seberapa sering kita
bertanya-tanya implikasi dari berita yang kita ikuti terhadap harga saham?
Right?
Faktanya, banyak berita yang bahkan mencoba menggiring kita untuk
mengikuti opini si reporter. Fakta dan opini harus bisa kita pilah bila tidak
ingin digiring dan pemikiran yang jernih diperlukan untuk membuat opini
independen yang bisa dipertanggung jawabkan. Sayangnya, pemikiran yang jernih
bukan hal yang mudah ditemukan ketika menyangkut saham.
Salah satu berita
yang dianggap penting tapi seringkali tidak mudah dipahami implikasinya adalah
menyangkut capex (investasi aset tetap). Di investor meeting kemarin, manajemen
BWPT mengungkapkan rencana untuk mengeluarkan IDR 400 M tahun ini dalam rangka
membangun 1 pabrik di Kalimantan dan menyelesaikan 1 pabrik lagi di Papua untuk
total 5 pabrik baru selama 5 tahun mendatang. Langkah ini dilakukan agar panen
sawit yang diperkirakan akan meningkat di tahun-tahun mendatang bisa
dimanfaatkan. Sepertinya berita yang bagus untuk BWPT. Tapi let’s get down to
business. Selama saya menjadi analis di perusahaan sekuritas, report-report
analis lain membanjiri layar komputer saya. Namun, saya tidak pernah sekalipun
mendapati rencana Capex perusahaan-perusahaan dinilai negatif. That can’t be
right. Capex adalah investasi dan tidak semua investasi itu telur emas. Tapi
kenyataannya, ketika investasi ini diberi label capex, analis dan media langsung
memandangnya sebagai telur emas.
Jadi bagaimana
seharusnya menganalisa Capex? Saya merekomendasikan agar investor memisahakan
dan mencoba menjawab dua pertanyaan berikut ini:
1.
Apakah
uang yang keluar untuk investasi tambahan bisa ditutupi dengan uang yang masuk
dari pendapatan tambahan dari investasi tersebut?
2.
Apakah
keputusan investasi tersebut merupakan keputusan yang terbaik untuk
shareholders setelah mempertimbangkan trade-offs?
Dari kedua
pertanyaan tersebut, pertanyaan pertama lebih mendesak untuk investor, karena
apabila manajemen melakukan investasi yang lebih besar pasak daripada tiang,
hal itu jelas merugikan investor. Dalam bahasa teknis finance, manajemen harus
memilih investasi yang memiliki nilai NPV positif agar menambah kekayaan perusahaan.
Apabila investasi tersebut memliki nilai NPV negatif, maka manajemen justru
menghancurkan nilai perusahaan. Makes sense. Semua lulusan bidang finance
seharusnya juga mengerti hal itu. Tapi ini real world. Dalam real world,
informasi yang kita dapat sebagai pihak eksternal harus bergantung pada angka
yang disediakan akuntan, dan akuntan memiliki dunianya sendiri. Akibatnya,
kebanyakan orang hanya menyimpan prinsip timeless tersebut ke jok belakang
karena menganggap prinsip tersebut hanya bisa diberlakukan oleh pihak internal.
Saya tidak setuju. Sebagai investor, kita bisa melakukan perhitungan sederhana
untuk menilai apakah investasi tersebut menciptakan nilai atau tidak. Bahkan
lebih lanjut, analisa tersebut juga akan membimbing kita untuk menilai pengaruhnya
ke harga saham. Bagaimana caranya? Mulai dengan EVA.
Dalam dunia EVA,
harga saham bisa naik karena value perusahaan naik dan/atau diekspektasikan
untuk naik. True to its name, economic added value, perusahaan yang berhasil
menciptakan EVA menambah value perusahaan mereka. Sebagai bonus, dan ini bagian
penting untuk investor, apabila manajemen berhasil meningkatkan EVA mereka atau
dinilai demikian, seringkali investor ikut menaikan ekspekasi mereka terhadap
potensi value yang bisa diciptakan oleh perusahaan dan. Point pentingnya
sederhana: EVA naik, harga saham juga naik. EVA adalah satu-satunya short-term
measure yang menjembatani long-term measure harga saham. Dalam artikel sebelumnya, saya telah menunjukkan ketika manajemen BWPT berhasil meningkatkan
EVA, nilai sahamnya juga ikut naik. Sebaliknya, ketika EVA dirusak, harga saham
juga ikut anjlok.
Perhitungan EVA
juga intuitif. Economic value diciptakan apabila pendapatan perusahaan bisa
menutupi biaya operasional dan modalnya. Lebih lanjut, kalau pendapatan
tambahan (additional revenue) bisa melebihi biaya tambahan (additional
operational and capital charge), maka perusahaan dijamin akan meningkatkan EVA
dari periode sebelumnya. Mari kita langsung menuju ke BWPT.
Manajemen BWPT
berencana mengeluarkan IDR 400 M sebagai Capex. Dengan charge sebesar 11,5%
(anggap saja suku bunga pinjam plus plus), maka rencana Capex tersebut memiliki
biaya yang harus ditutupi sebesar IDR 45 M. Sekarang kita bisa melangkah lebih
lanjut dan bertanya, “ Pendapatan tambahan BWPT harus berapa besar untuk bisa
menutupi tambahan biaya modal IDR 45M?” Jawabannya jelas lebih dari IDR 45M.
Easy, right? Dengan asumsi kalau biaya operasional memakan 89% dari
pendapatan seperti tahun lalu, berarti BWPT harus bisa mendapatkan tambahan
pendapatan lebih dari IDR 500M di tahun ini atau lebih dari IDR 3,49 T
pendapatan total di tahun ini untuk bisa mengangkat EVA mereka.
Side Note 1: Sebenarnya, 400 M belum menjadi
investasi total yang perlu dicover. Perusahaan tidak hanya mengeluarkan
investasi untuk aset tetap (Capex), tapi juga untuk modal kerja (seperti
piutang dan utang ke supplier) yang keduanya memerlukan sumber dana dari
investor. Definisi Capex juga bisa berbeda untuk tiap perusahaan dan tidak
jarang sulit untuk menghubungkan angka yang diberikan manajemen dengan angka
yang disajikan akuntan di laporan keuangan sehingga membuat analisa lebih
kompleks. Tapi biasanya investasi untuk modal kerja jauh lebih sedikit dari
Capex, bahkan bisa negatif kalau kredit dari supplier banyak.
Pertanyaannya
sekarang, apakah itu mungkin? Pendapatan tahun lalu sebesar IDR 2,9 T. Kata manajemen
bisa. Tapi saya skeptis. Saya bisa menelaah lebih lanjut ke angka operasional.
Dengan berasumsi harga CPO dan CPO extraction rate sama seperti tahun lalu, panen
buah sawit harus tumbuh 20% dari tahun lalu menjadi 1,64 juta ton buah sawit
dari 1,36 juta ton tahun lalu. Achievable? I think so.
Side Note 2: Perubahan harga CPO memiliki dua
dampak besar ke BWPT. Pertama, pertumbuhan penjualan. Kedua, margin. EVA memiliki
dua key drivers: growth dan ROIC. Dua-duanya terkena imbasnya. Double whammo!
Figure 1
Figure 2
Produksi CPO
bergantung pada dua hal: umur plantasi dan curah hujan. Dari sisi umur, BWPT
sedang berada di atas angin dengan hampir seluruh pohon mencapai umur ke 9 yang
berarti ranum dan akan berlangsung untuk setidaknya 9 tahun ke depan.
Curah hujan
memiliki pola: meningkat dari bulan Jan-Mar, menurun dari Mar-Aug, dan
meningkat kembali hingga akhir tahun. Pola peningkatan produksi di akhir-akhir
tahun paling konsisten dari tahun ke tahun. Artinya, kita bisa mengharapkan
produksi buah sawit melambat sedikit di musim kemarau ini dan kembali meningkat
tajam setelah bulan Agustus. Setelah produksi payah di bulan Januari tahun ini,
produksi buah mulai sejalan dengan tema ranum besar-besaran tahun ini: Dari
64.000 ton buah sawit di Januari menjadi 160.000 ton buah sawit di bulan Mei. Dengan
kecenderungan curah hujan membawa berkah di akhir tahun, saya pikir produksi
BWPT bisa dengan mudah melampaui 1,8 juta ton: melampaui target break even EVA
dan target manajemen. Produksi CPO juga mengalami pergerakan yang sama seperti
buahnya yang berarti manajemen bisa mempertahankan CPO extraction rate sesuai
dengan janjinya, stabil di 23%. Figure 1 dan 2 memberikan data yang kita
perlukan dalam analisa ini.
Perspektif lain
bisa dilihat dari produktivitas lahan, diukur dari pendapatan per hektar.
Dengan menambah 300 ton buah sawit di tahun ini, kapasitas produksi efektif
(ton buah sawit / Hektar) meningkat 20% dan akan menyumbang dua kali lipat
untuk pertumbuhan produktivitas lahan di tahun ini dari tahun sebelumnya. Lihat
Table di bawah untuk breakdown pertumbuhan pendapatan per hektar. Tanpa ada
rencana untuk memperluas lahan, pertumbuhan penjualan BWPT akan ditentukan oleh
rasio ini.
2015
|
2016
|
2017
|
2018 E
|
|
Sales IDR/Ha
|
19,3
|
18,1
|
22,7
|
27,2
|
growth %
|
0,4
|
(0,1)
|
0,3
|
0,2
|
Productivity Breakdown
|
||||
Effective production capacity
(ton/Ha)
|
3,0
|
2,6
|
2,8
|
3,4
|
growth %
|
0,7
|
(0,1)
|
0,1
|
0,2
|
Effective price (IDR/ton)
|
6,5
|
6,9
|
8,0
|
8,0
|
growth %
|
(0,2)
|
0,1
|
0,1
|
(0,0)
|
Saya yakin,
seperti yang telah saya tunjukkan di artikel sebelumnya, kalau BWPT dapat
meningkatkan EVA, harga sahamnya juga akan mengikuti.Tapi perlu saya garis
bawahi, ini berlaku kalau tidak ada kejadian spektakular yang betul-betul
mengguncang confidence investor. Jangan lupa kalau harga saham BWPT ditopang
oleh ekspektasi investor kalau suatu saat BWPT bisa menghasilkan EVA positif.
Sesuatu yang belum pernah dicapai manajemen, namun kita bisa, secara rasional,
mengharapkan peningkatan EVA di tahun ini, dan hopefully, ekspektasi investor bisa
kembali lagi.
Tanpa adanya satu
angka yang dapat merangkul banyaknya kompleksitas seperti EVA (dan saya yakin
hingga saat ini, hanya EVA yang bisa), analisis seperti ini sangat mudah
menjadi ruwet tanpa jelas kaitannya satu ke yang lain, bahkan untuk analyst
berpengalaman sekalipun. Kaca mata EVA jelas membantu melihat secara jernih di
tengah-tengah kabut dalam hutan yang adalah rimba financial. Lagipula, tanpa
menjalankan beberapa angka, bagaimana kita bisa tahu apakah suatu investasi
memiliki dampak yang baik untuk shareholders? Tanpa ada angka yang bisa kita
percaya, bagaimana kita bisa berpikir jernih di tengah rimba finansial?
Comments
Post a Comment